Muhammad; lantunkanlah
"shalallaahu 'alaihi wa sallam" tatkala engaku mendengar nama itu.
***
Nama orang tua itu adalah Pak Darsim, biasa dipanggil tetangga-tetangganya dengan panggilan Mang Darsim. Ia memiliki seorang istri bernama Bu Ratminah, yang biasa dipanggil tetangga-tetangganya dengan panggilan Bi Ratminah. Usia mereka berdua kian menuju senja. Akan tetapi, di usianya yang seperti itu mereka tetap giat dalam mencari sumber pengidupan yang halal dan juga baik. Pekerjaan mereka sangatlah sederhana. Mungkin, di mata banyak orang, pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang terpandang (kalau gak dibilang murahan). Mereka hanya seorang petani serabutan yang sama sekali tidak memiliki lahan pribadi untuk bertani.
Mang Darsim dan Bi Ratminah tinggal berdua di sebuah gubuk sederhana di daerah sekitar rel menuju stasiun Kiaracondong, Bandung.
Di pinggiran rel itulah mereka bekerja serabutan; mencari sumber penghidupan. Tanah beberapa bata yang masih tersisa di pinggir rel, mereka manfaatkan untuk menanam ketela pohon dan juga berbagai macam tanaman merambat lainnya. Tentu setelah meminta izin terlebih dahulu kepada kepala stasiun.
Itulah sumber penghidupan bagi mereka.
Sudah sekitar setahun yang lalu aku mengenal mereka berdua. Sejak pertama kali aku ngontrak di sebuah rumah yang terletak di sebrang rumah mereka, sejak saat itulah aku mulai kenal dan menyaksikan pekerjaan mereka. Pekerjaan sederhana untuk mengupayakan agar mereka bisa hidup sebagai orang-orang yang merdeka.
Terkadang, hati merasa terenyuh tatkala menyaksikan kerja keras mereka dalam mencari sumber pengidupan. Aku belum tentu bisa hidup seperti mereka.
Itulah harga diri. Itulah kemuliaan hidup. Mereka tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Sedapat mungkin mereka makan dengan hasil jerih payah mereka sendiri. Itulah sebaik-baik rezeki.
Suatu hari, Mang Darsim harus masuk rumah sakit. Bukan karena sebuah penyakit, melainkan karena sebuah konsekuensi pahit dari pekerjaannya sebagai seorang petani yang bertanam di pinggir rel kereta api.
Kereta berkecepatan tinggi telah menyerempet tubuhnya pada saat ia sedang menjalankan aktivitasnya. Tubuhnya seketika terpelanting, lalu berdebam keras di atas hamparan batu-batu tajam yang besarnya kurang lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa. Darah pun seketika melumuri sekujur tubuhnya yang mulai renta. Tidak hanya dari tubuh, bahkan tak lama kemudian mulutnya juga mengeluarkan darah segar berwarna merah kehitaman.
Orang-orang yang menyaksikan itu langsung membawa Mang Darsim ke rumah sakit.
Dan aku, sebagai orang yang bertenagga dengannya, otomatis juga mempunyai kewajiban serupa dengan tetangga-tetanggaku yang lainya. Aku harus menjenguk Mang Darsim di rumah sakit.
Kawan, usahlah kau pikirkan dari mana Mang Darsim membayar biaya perawatannya selama dia dirawat di rumah sakit. Logikaku tak sampai pada kesimpulan bahwa hanya dengan pekerjaannya yang seperti itu Mang Darsim akan mampu membayar biaya perawatannya.
Allaahu a’lam.
Singkat cerita, aku pun sudah berada di rumah sakit. Sebisa mungkin kuhibur sepasang suami istri yang sedang diuji oleh Allah itu. Mang Darsim nampak terihat begitu lemas dan memprihatinkan. Namun, terenyuhlah aku untuk kesekian kalinya tatkala aku menyaksikan sang istri yang begitu setia mendampingi dan memenuhi setiap kebutuhan suaminya. Dialah Bi Ratminah, sang istri yang nyata ketulusannya.
“Bu, ke sini sebentar..” pinta Mang Darsim pada istrinya di sebuah kesempatan. Aku masih menjadi penonton tunggal di pentas realitas itu. Duduk di atas kursi besuk yang ada di pojok kamar tempat Mang Darsim dirawat.
“Ada apa Pak?” tanya Bi Ratminah sembari mendekat ke arah suaminya yang sedang berbaring.
Setelah jarak tak lagi menjadi pemisah mereka berdua, Mang Darsim meminta istrinya agar mendekatkan telinganya ke arah mulut Mang Darsim.
“Ka dieu Bu..” sembari melabaikan tangannya yang nampak lesu tak bertenaga. Bi Ratminah pun
surti, ia segera memenuhi apa yang diminta oleh suaminya.
Saat itulah aku menyaksikan Mang Darsim membisikan beberapa kalimat di telinga Bi Ratminah. Aku tak dapat menyimak dengan baik apa yang diucapkan oleh Mang Darsim. Dia berbisik dengan sangat pelan. Respon yang aku lihat hanyalah kepala Bi Ratminah yang mengangguk-angguk takala mendengar biskikan dari Mang Darsim. Nampaknya Mang Darsim sedang meminta sesuatu kepada sang istri, inilah kesimpulanku.
Tak lama setelah Mang Darsim purna menyampaikan bisikkanya kepada Bi Ratminah, aku pun segera berpamitan kepada mereka berdua. Berujar pesan agar terus bertahan dalam menghadapi ujian, sembari memberikan amplop berisi sedikit uang kepada Bi Ratminah.
“Hatur nuhun Acep*..” ucapnya lirih. [*
Acep bukanlah sebuah nama, ia adalah sebuah panggilan orang tua Sunda kepada orang yang masih dianggapnya muda]
“Sami-sami Bi, mangga nya Bi, abdi bade wangsul heula..”
Ceritanya akan aku singkat lagi kawan.
Aku pun pulang ke kontrakan dan menjalankan aktivitas rutinku seperti biasanya. Jam menunjukkan pukul 13.30-an siang.
Menjelang ashar, sebuah pengumuman terdengar membahana dari pengeras Masjid Al-Badriyah. Isinya membuat aku terhenyak bukan kepalang. Diawali dengan kalimat,
“assalamu’alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh”, disusul dengan kalimat
“innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...” Pengumuman itu mengabarkan bahwa Mang Darsim baru saja dipanggil Allah Swt. Ia baru saja meninggal. Seluruh tetangga, kerabat, dan juga orang-orang yang mengenal Mang Darsim diminta untuk mendoakannya agar diteima segala amal baiknya oleh Allah, sekaligus mendoakan keluarga yang ditinggalkanya agar tetap diberi ketabahan.
Baru beberapa jam yang lalu aku melihat tubuhnya yang masih bergerak, mulutnya yang masih berbisik, dan tangannya yang masih bisa melambai. Kini, bergantialah semua bayangan itu menjadi bayangan seorang Mang Darsim yang sedang terbujur kaku sembari ditangisi sang istri dan keluarganya.
“Innalilahi wa inna ilaihi raajuun”, ujarku lirih. Sesungguhnya, kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.
***
Ritual budaya pun mulai dilaksanakan. Setelah shalat magrib, tetangga-tetangga Mang Darsim langsung berbondong-bondong menuju rumahnya untuk memenuhi undangan tahlilan. Inilah yang aku maksudakan dengan budaya kawan. Tahlilan adalah sebuah budaya, bukanlah sebuah ritual ibadah yang jelas ada dasarnya. Akulah satu-satunya orang yang tidak menghadiri undangan itu dengan alasan sedang ada pekerjaan yang sangat butuh untuk segera diselesaikan (karena kondisi detik itu memanglah demikian, aku dikejar-kejar
deadline untuk segera menyelesaikan proposal tesisku).
Padahal itu hanya sebatas retorika cara menolak dengan halus saja. Karena, alasan yang sebenarnya adalah aku berprinsip bahwa tahlilan itu bukan sesuatu yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Maka, aku tidak berkewajiban sama sekali untuk melaksanakannya. Aku berpikiran bahwa aku adalah seorang berpendidikan yang tidak mau mencapuradukan antara yang benar dan yang tidak benar. Inilah pikiran sempitku waktu itu.
Tahlil berlajut. Aku anteng dalam menggarap proposal. Waktu pun terus berjalan.
Tak terasa, azan Isya telah berkumandang. Aku pun bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Isya. Berjama’ah.
Kontras. Tak nampak banyak orang-orang yang berbondong-bondong memenuhi panggilan azan ketimbang memenuhi panggilan tahlilan setelah shalat magrib tadi. Ini adalah realitas kedua yang aku persalahkan. Menganggap diri paing benar dan sholeh, dan tak punya pikiran realistis terkait bagaimana cara agar aku bisa memperbaiki kondisi tersebut. Otakku hanya dijejali pikiran kaum idealis yang terkadang jauh dari pemikiran realistis. Di kampus di kenal sebagai seorang aktivis, di kampung tak mampu berkutik sama sekali tatlaka dihadapkan pada kenyataan hidup bermasyarakat. Senangnya hanya memvonis, mempvonis, dan memvonis. Ketika ditanya solusi? Matilah gayaku. Mati pula urusan strategiku.
Setelah shalat sunat Rawatib, aku pun segera beranjak pulang kembali ke kontrakan.
Sesampaiknya di halaman kontrakan, aku menyaksiakan seorang Ibu tua sedang mengetuk-ngetuk pintu kontrakanku. Tangannya menenteng
rantang berisi bermacam-macam makanan.
“Ada apa Bu?” Tanyaku.
Ibu tua itu nampak kaget tatkala ia mendengar suara yang muncul dari belakangnya. Sesegera mungkin ia menghadapkan tubuhnya ke arah sumber suara.
Berikutnya giliran aku yang merasa kaget tatkala mendapati bahwa ibu tua yang sedang mengetuk-ngetuk pintu kontrakanku itu ternyata adalah Bi Ratminah. Saat sedang berduka seperti itu, sempat-sempatnya dia datang ke kontrakanku sambil membawa
rantang—yang aku pastikan—berisi makanan.
“Eh, baru pulang dari masjid Acep
teh? Bibi kira ada di rumah..”
“Iya Bi,
punten pisan ya Bi, saya sedang ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, jadi tadi tidak bisa datang ke rumah Bibi..” ujarku memelas.
To the point.
“Tidak apa-apa Cep,
pidu’anya saja yah dari Acep biar si Mamang
teh diteima segala amal shalehnya oleh Allah.” Balas Bi Ratminah sembari berkaca-kaca.
“Iya Bi, insya Allah selalu saya do’akan. Ada apa Bi, malam-malam begini datang ke rumah saya?”
“Ini Cep, bibi cuma mau memberikan makanan ini ke Acep.” Jelasnya, samabl menyodorkan
rantang berisi rupa-rupa makanan itu kepadaku.
Batinku pun kemudian berujar, saat beruka seperti ini sempat-sempatnya Bi Ratminah memberikan makankanan, pake dianterin langsung segala lagi.
Mau menolak jelas tidak sopan. Mau bertanya dalam rangka apa dia memberiku makanan jelas pula aku tak berani. Aku berpikir, makanan itu diberikan padaku karena tadi aku tidak datang ke rumahnya untuk tahlilan. Aku berpikir kenapa malah Bi Ratminah yang memberiku makanan untuk membahagian orang, semestinya akulah yang memberinya kebahagiaan (dalam bentuk apapun).
Melihat aku yang nampak ragu untuk menerima makanan itu, Bi Ratminah kembali berujar, “Terimalah Acep, ini adalah pesanan si Mamang..”
“Pesanan si Mamang gimana Bi?” Tanyaku agak heran.
“Iya, menjelang wafatnya tempo hari, si Mamang berpesan begini ke Bibi.
“Bu, sekarang kan bulan Maulid, bahagiakanlah tetangga-tetangga kita dengan membagikan makanan kepada mereka dari rezeki terbaik hasil kerja kita.” Acep juga menyaksikannya kan? Kan waktu itu Acep masih berada di kamar untuk menjenguk si Mamang.”
“Oh kitu, hatur nuhun atuh Bi, mangga ku abdi ditampi.” Responku pendek, tanganku pun segera menyambut pemberian Bi Ratminah. Mulut berujar kalimat pendek itu, sementara hati menjerit menahan rasa pilu yang teramat sangat.
“
Mangga Acep, Bibi mau langsung pulang saja yah.”
“Oh, iya Bi,
mangga-mangga, hatur nuhun pisan nya Bi.”
“Sami-sami, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
***
Bisikan yang aku saksikan tempo hari ternyata adalah sebuah wasiat dari Mang Darsim untuk istrinya. Wasiat untuk berbagi kebahagian dengan tetangga dikarenakan bulan itu adalah bulan kelahiran manusia teragung sepanjang sejarah; Muhammad
shalallaahu 'alaihi wa sallam. Mang Darsim tidak berkata dengan retorika demikian berbusa yang menyatakan bahwa dia memiliki perasaan cinta terhadap Rasulullah Saw. Cukuplah amal nyata yang menjadi wakil bagi perasaannya.
Kawan, tengoklah diri kita. Sudahkan kita memiliki cinta yang begitu mendalam terhadap baginda Rasulullah Saw.?
Adakah bukti dari perasaan itu?
Bukankah kita tahu, bahwa di akhirat kelak kita akan dibersamakan dengan orang-orang yang kita cintai?
Penutup
Sembilan hari sebelum Rasulullah Saw. wafat. Sepulang dari menunaikan haji wada’, turun firman Allah Swt.,
“… wattaqu yauman… turja’uuna fiihi”. Sejak itu, tanda-tanda kesedihan sudah tampak dalam diri manusia mulia itu. “Aku ingin mengunjungi makam para syuhada Uhud,” ujarnya. Beliaupun pergi ke lokasi makam, dan berdiri di tepi makam para sahabatnya. “Assalamualaikum ya syuhada Uhud. Kalian telah lebih dahulu, dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Dan aku insya Allah akan bretemu dengan kalian.”
Dalam perjalanan pulang, Rasul Saw. menangis. Para sahabat bertanya, tentang sebab tangisannya. Dengan nada lirih, Nabi Allah itu mengatakan, “Aku merindukan saudara-saudaraku..”, “Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu, ya Rasulullah?” sergah para sahabat. Rasul menjawab, “Tidak. Kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah orang yang datang setelahku, tapi mereka beriman kepadaku meskipun tidak melihatku.”