Kader Dakwah Andalan; Mereka yang Jiwanya Senantiasa Menyatu dengan Akhirat

Adalah benar ketika ada seseorang yang mengatakan: sebetulnya, tidaklah salah-salah amat jika musuh-musuh dakwah tak bosan-bosannya terus menyerang para pegiat dakwah.

Mencintai Manusia Teragung Sepanjang Sejarah

Muhammad; lantunkanlah "shalallaahu 'alaihi wa sallam" tatkala engaku mendengar nama itu.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 13 April 2013

Ragam Warna Prestasi



Bagaimana seorang mahasiswa menjalani kesehariannya merupakan sebuah pilihan. Tidak ada batasan atau paksaan terhadap seorang pun untuk menjalani rutinitas tertentu. Apa saja yang ingin dihasilkan oleh seorang mahasiswa sebagai sebuah karya selama masa kuliah pun menjadi hak dari setiap individu untuk menentukannya.

Kesempatan berkarya pun terbuka sangat lebar bagi seorang mahasiswa. Tidak terhitung jumlah unit kegiatan ekstrakurikuler yang bisa diikuti di kampus. Tinggal dipilih saja mana yang sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki. Dipilih mana yang sesuai dengan kecintaan dan passion yang dirasakan.

Semua itu memang tentang pilihan, termasuk menyangkut hal yang satu ini. Prestasi. Meskipun sekarang ini pencapaian atas sebuah prestasi seolah telah menjadi tuntutan bagi setiap individu, namun pada praktiknya hal itu juga merupakan sebuah pilihan. Pilihan tentang apakah seseorang juga akan turut berprestasi, prestasi seperti apa yang akan dicetak oleh seseorang, termasuk dengan cara apa seseorang berupaya mencapai suatu prestasi. Menjadi kebebasan bagi setiap individu untuk menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu.

Agaknya masih juga terdapat sejumlah mahasiswa yang masih mengalami kesulitan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dengan sendirinya. Namun, tidak sedikit pula mahasiswa yang telah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sangat baik. Di antaranya ialah Malik Khidir dan kawan-kawan, serta Solli Dwi Murtyas.

Tim Robot UGM menjuarai kontes robot internasional
Seperti telah diberitakan oleh sejumlah media nasional, bahwa sekali lagi Universitas Gadjah Mada mencetak prestasi bergengsi di kancah internasional. Tim robot dari Universitas Gadjah Mada berhasil menduduki posisi pertama dalam Trinity College Firefighting Home Robot Contest (TCFFHRC) di Amerika Serikat pada 7 April lalu. Dalam tim robot yang sebelumnya menjuarai Kontes Robot Nasional 2012 divisi Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI) pada Bandung 1 Juli 2012 itu, beranggotakan Malik Khidir sebagai ketua tim, serta Bachtiar Candra Permana dan Agys Badruzzaman. Prestasi yang membanggakan tersebut diraih berkat keterampilan Malik dan kawan-kawan yang berhasil menciptakan robot cerdas kategori pemadam api berkaki yang diberi nama Robot 1-DA UGM. Kemenangan besar tersebut merupakan buah dari kerja keras dan ikhtiar yang dilandaskan rasa cinta pada bidang yang mereka tekuni.

Solli Dwi Murtyas melakukan presentasi
dalam bahasa Inggris

Sementara itu, sebuah prestasi gemilang juga telah diukir oleh Solli Dwi Murtyas. Mahasiswa Fisika Teknik angkatan 2008 yang telah resmi meraih gelar sarjananya pada 9 April lalu ini, sukses membuat orang-orang yang mengenalnya berdecak kagum. Sarjana muda yang pernah mengampu jabatan sebagai Ketua Keluarga Mulim Teknik 2011 ini, mengakhiri masa kuliahnya dengan penutup yang sangat cantik. Salah satu lulusan terbaik Fakultas Teknik UGM ini telah dengan sukarela mengajukan diri untuk melakukan ujian pendadaran dalam bahasa Inggris. Tim penguji yang sudah siap di ruang MRKI Jurusan Teknik Fisika hari itu pun menyetujui penawaran tersebut. Akhirnya, ujian pendadaran berbahasa Inggris pun sukses digelar. Pengalaman tersebut merupakan hal yang sangat langka, sekalipun bagi Dr. Eng. M. Kholid Ridwan, S.T., M.Sc. dan Rachmawan Budiarto, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing tugas akhir Solli. Tidak heran setelah ujian pendadaran yang begitu berkesan itu, terlontar sejumlah pujian dan ucapan kebanggaan dari segenap rekan dan kerabat Solli Dwi Murtyas. Termasuk dari Pak Rachmawan yang sempat menyampaikan kebanggaannya melalui akun Facebook.

Beberapa rekan mahasiswa yang telah disebutkan di atas merupakan segelintir di antara mereka yang telah memilih untuk berprestasi dan telah memilih prestasi yang ingin mereka raih. Prestasi tentunya tidak akan lahir dengan sendirinya. Tanpa kehendak dari individu yang menginginkannya untuk tercapai, mustahil suatu prestasi mampu mengharumkan nama seseorang. Prestasi yang bisa dipilih oleh seseorang pun tak hanya terbatas pada seragam prestasi saja. Seseorang memiliki keleluasaan penuh untuk memilih di jalur mana ia ingin berprestasi. Karena sejatinya prestasi itu istimewa, tidak identik antara yang bisa diciptakan oleh satu pribadi dengan pribadi yang lain. Dan sebab keistimewaan prestasi itulah, maka perlu diyakini bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan prestasinya sendiri. Oleh karena itu, sudah selayaknya setiap individu mengikhtiarkan upaya terbaik untuk melahirkan prestasi ala dirinya sendiri. (fannie-st)

Image taken from:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=530947723624152&set=a.517279208324337.1073741825.397954586923467&type=1&relevant_count=1
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10200963295510819&set=t.588648125&type=3&theater

Kamis, 11 April 2013

Musim Ujian di Teknik


Ilustration by: (radit-st)


Sabtu, 30 Maret 2013

Sorot UKT


Tahun 2013 dapat disebut sebagai awal fase baru dalam pendidikan di Indonesia. Berbagai kebijakan baru digulirkan pemerintah untuk mereformasi pendidikan di berbagai tingkatan. Dimulai dari reformasi kurikulum ditingkat SD, SMP dan SMA, hingga reformasi model pembayaran di tingkat perguruan tinggi. Tentu perubahan sistem tersebut membawa pro dan kontra, terutama sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berkaitan langsung dengan kepentingan mahasiswa. Tak ayal berbagai organisasi mahasiswa menyampaikan sikap resmi mereka untuk menentang kebijakan ini.


Sistem UKT akan menggantikan sistem pembayaran SKS yang selama ini dianut oleh berbagai perguruan tinggi. Karateristik lainnya adalah dihapuskannya biaya SPMA yang biasanya dibayarkan di awal masuk kuliah. Seluruh biaya itu akan digantikan dengan UKT per semester yang jumlahnya tertentu untuk setiap jurusan, tidak peduli berapa banyak mata kuliah yang diambil oleh seorang mahasiswa. Sehingga kedepannya, seorang mahasiswa yang mengambil 24 SKS dan mahasiswa yang mengambil 16 SKS akan memiliki kewajiban membayar biaya kuliah dengan jumlah yang sama.



Untuk mencegah kenaikan biaya yang tidak rasional oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN), pemerintah akan menerbitkan standar UKT untuk tiap jurusan. Standar ini yang akan digunakan sebagai batasan maksimal UKT yang dapat ditarik oleh PTN.



Mengenai alasan pemberlakuan UKT menurut Mendikbud, adalah bertujuan untuk mengurangi beban mahasiswa. Dengan asumsi bahwa UKT yang diberlakukan per semester akan lebih mudah untuk ditanggung dibandingkan dengan SPMA yang harus dibayarkan secara langsung. Selain itu UKT juga dianggap memberikan kepastian jumlah pembiayaan yang harus ditanggung oleh mahasiswa setiap semesternya. Pemberlakuan UKT sendiri tidak akan diberlakukan secara sama rata kepada semua mahasiswa. Direncanakan akan ada berbagai jenjang UKT yang dibebankan kepada mahasiswa, dimulai dari 0%,20%,50%,70% hingga 100% UKT.



Namun tampaknya organisasi mahasiswa memiliki pandangan yang berbeda tentang hal ini. Dalam pernyataan resminya, BEM KM UGM menentang UKT dengan alasan bahwa perhitungan kasar yang mereka lakukan menunjukkan bahwa UKT yang diberlakukan besarnya melebihi biaya SPMA dan SPP yang selama ini diberlakukan. Sehingga disparitas dana yang besar itu kelak akan tetap memberatkan mahasiswa.



Sebenarnya sisi lain yang juga tidak kalah menderita adalah universitas. Di satu sisi ia harus menjawab kritik dari mahasiswa, di sisi lain selama 4 tahun kedepan pendapatan PTN dari mahasiswa akan menurun drastis dibandingkan pendapatannya pada tahun 2012. Meskipun dalam teorinya pengurangan pendapatan ini akan disokong oleh BOPTN dari pemerintah, namun rumitnya birokrasi untuk mencairkan dana BOPTN ini disinyalir akan mendorong beberapa universitas untuk memangkas pos-pos pendanaan yang berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan.



Tentu dalam setiap perubahan akan melahirkan pro dan kontra. Beberapa perubahan akan membawa kita menuju masa depan yang lebih baik, sementara yang lainnya hanya memberikan kehebohan sementara, cukup untuk mengisi kolom-kolom media. Cuma waktu yang bisa membuktikan termasuk golongan manakah sistem UKT ini kelak. (reka-st)

Jumat, 22 Maret 2013

Aksi Pemuda ‘Sampah’


Jumat siang (22/03) di selasar barat KPFT UGM, WRC (Waste Refinery Center) bekerja sama dengan Gama Cendekia dan Cendekia Teknik UGM mengadakan rangkaian acara. WRC merupakan komunitas yang dikepalai oleh Ir. Siti Syamsiah, Ph. D., dosen Teknik Kimia UGM. Komunitas ini memfokuskan diri untuk bergerak pada bidang pengelolaan sampah. Perintisan gerakan ini terinspirasi oleh aktivitas pengelolaan sampah yang telah dilaksanakan di Swedia. Dengan tujuan mencapai kualitas pegelolaan sampah yang sama baiknya dengan di Swedia, WRC pun dikembangkan di UGM.

Mengusung tema Sampah Tanggung Jawab Siapa?, lomba poster dan talkshow pun digelar. Pembicara yang diundang sangat berkapasitas di bidang yang bersangkutan.  Adalah Kepala Kementrian Lingkungan Hidup Eko Region Jawa dan akademisi UGM, Bapak Derajad Sulistyo yang hadir sebagai pembicara hari ini.

Diawali dengan pameran Poster Sampah pada pukul 10.00, acara ini pun dimulai. Pengunjung diberikan kesempatan sebanyak dua suara untuk memilih poster favorit. Dilanjutkan dengan penampilan akustik perkusi dengan alat musik yang terbuat dari sampah oleh BSO Satu Bumi. Talkshow yang dimoderatori oleh Didik Hari Purwanto, mahasiswa Teknik Fisika UGM 2009, dimulai dengan statement pembuka dari Bapak Derajad. “Jika yang dibicarakan adalah sampah, sebenarnya memang sangat tidak menarik. Bahkan tidak menutup kemungkinan dalam seminggu ke depan isu ini akan mulai menghilang bahkan dilupakan oleh para mahasiswa. Inti dari semuanya adalah tentang kesadaran. Kesadaran bahwa sampah itu adalah masalah skala nasional. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini berlanjut dengan meningkatnya sampah-sampah yang dihasilkan. Dalam hal ini sebenarnya pemerintah juga telah turun tangan, yaitu dengan adanya regulasi terkait pengelolaan sampah yang tercantum dalam UU No 18 Tahun 2008.” begitu pungkas beliau saat membuka talkshow.

“Pengelolaan sampah memang bukan hal yang mudah. Diperlukan konsistensi yang tinggi. Proses pengelolaan sampah sebenarnya tidaklah rumit, yaitu pengurangan dan pengelolaan itu sendiri. Pengurangan yang dimaksud contohnya adalah minimalisasi penggunaan bahan baku industri yang sulit diolah kembali, seperti plastik. Sedangkan pengelolaan yang dimaksud adalah pemilahan sampah ke dalam jenis organik, anorganik, plastik, kaca, dan sampah lain-lain. Dengan adanya pemilahan seperti ini, maka volume sampah yang tidak bisa diolah kembali akan berkurang dan volume sampah di TPA akan menurun. Hal-hal seperti itu sangat penting. Terlebih lagi terkait dengan akan diadakannya penutupan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) pada tahun 2013 ini, ungkap Pak Badri. “Perlu digarisbawahi bahwa sampah tidaklah sama dengan limbah.  Jenis sampah bisa dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu sampah rumah tangga dan sampah spesifik. Sampah spesifik inilah yang paling beresiko terhadap lingkungan jika tidak diolah dengan baik.” tambahnya.
Bukan rahasia lagi jika di kalangan masyarakat kini terjadi tuduh-menuduh terkait sampah. Siapa yang seharusnya bertanggungjawab terhadap sampah ini? Sampah adalah tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Pemerintah telah berupaya mengontrol sampah melalui regulasi. Begitupun dengan perusahaan-perusahaan, kini mereka tengah berlomba-lomba mengurangi pemakaian bahan baku yang sulit diolah. Masyarakat pun seharusnya demikian. ”Apapun posisi kita, turutlah berperan dan berpartisipasi dalam menjaga lingkungan,jelas Pak Badri.

Kembali lagi, inti dari semua ini adalah bagaimana cara membangun kesadaran?

Kalau masalah sadar tidak sadar, semua orang pasti sebenarnya sadar, permasalahannya adalah sejauh mana mereka mampu disiplin dalam pelaksanaannya.  Membentuk karakter yang peduli lingkungan harus dilakukan sejak dini. Dimulai dengan menanamkan hal-hal sederhana kepada anak-anak kita terkait dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, proses untuk menjadikan sampah sebagai sesuatu yang berkelanjutan telah dimulai.

Bagaimana caranya untuk menyinergiskan ketiga pihak tadi untuk peduli sampah?

“Inilah permasalahannya, tantangan kita adalah membangun kesadaran lingkungan sejak dini. Tidak jarang di kalangan masyarakat timbul kelompok-kelompok antara pemahaman dengan kesadaran tentang lingkungan. Timbul persepsi bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi kesadarannya tentang lingkungan. Namun yang terjadi sekarang sudah terbalik.Ubah paradigma kita terhadap sampah. Dari mana sampah berasal? Dimulai dari hal tersebut, kita bisa mengubah perilaku kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan, ujar Pak Derajad.

“Sederhana saja, sampah berasal dari kita, oleh karena itu kita turut bertanggungjawab dalam pengelolaannya, jika tidak ingin ada bencana yang diakibatkan oleh sampah. Konsisten untuk terus menangani sampah, itu yang diperlukan.ucap Pak Badri sebagai konklusi diskusi hari ini.
'Buang', juara pertama lomba poster
oleh Robbani Alfan

Setelah sajian penampilan musikalisasi puisi yang bertemakan sampah dari panitia dan BSO Satu Bumi, tibalah saat yang ditunggu yaitu pengumuman pemenang lomba poster. Dari 38 peserta lomba poster, terpilihlah empat pemenang. Nominasi poster favorit diraih oleh Dzikrima Luthfi dengan tema 3 cara sederhana mengatasi permasalahan sampah. Juara ke-3 , bertemakan Recycle, make a something new, diraih oleh Hardy Nurvianto. Sementara itu, juara ke-2 diraih oleh Galih Putra Laksana yang dengan kreatifnya menganalogikan bumi sebagai sebuah tong sampah raksasa. Menyandang gelar juara pertama, Robbani Alfan, berkaryakan sebuah poster minimalis sarat makna dengan judul  Buang.

Penampilan akustik kembali dari BSO Satu Bumi menjadi penutup acara hari ini. Harapan yang tergantung ke depan adalah apa yang didiskusikan hari ini bukanlah tersimpan menjadi wacana belaka, tetapi mampu ditransformasikan dalam wujud aksi nyata yang mampu mengubah Indonesia. (alif-st)

Sabtu, 02 Maret 2013

Mencintai Manusia Teragung Sepanjang Sejarah

Muhammad; lantunkanlah "shalallaahu 'alaihi wa sallam" tatkala engaku mendengar nama itu.

***

Nama orang tua itu adalah Pak Darsim, biasa dipanggil tetangga-tetangganya dengan panggilan Mang Darsim. Ia memiliki seorang istri bernama Bu Ratminah, yang biasa dipanggil tetangga-tetangganya dengan panggilan Bi Ratminah. Usia mereka berdua kian menuju senja. Akan tetapi, di usianya yang seperti itu mereka tetap giat dalam mencari sumber pengidupan yang halal dan juga baik. Pekerjaan mereka sangatlah sederhana. Mungkin, di mata banyak orang, pekerjaan itu  bukanlah pekerjaan yang terpandang (kalau gak dibilang murahan). Mereka hanya seorang petani serabutan yang sama sekali tidak memiliki lahan pribadi untuk bertani.

Mang Darsim dan Bi Ratminah tinggal berdua di sebuah gubuk sederhana di daerah sekitar rel menuju stasiun Kiaracondong, Bandung.

Di pinggiran rel itulah mereka bekerja serabutan; mencari sumber penghidupan. Tanah beberapa bata yang masih tersisa di pinggir rel, mereka manfaatkan untuk menanam ketela pohon dan juga berbagai macam tanaman merambat lainnya. Tentu setelah meminta izin terlebih dahulu kepada kepala stasiun.

Itulah sumber penghidupan bagi mereka.

Sudah sekitar setahun yang lalu aku mengenal mereka berdua. Sejak pertama kali aku ngontrak di sebuah rumah yang terletak di sebrang rumah mereka, sejak saat itulah aku mulai kenal dan menyaksikan pekerjaan mereka. Pekerjaan sederhana untuk mengupayakan agar mereka bisa hidup sebagai orang-orang yang merdeka.

Terkadang, hati merasa terenyuh tatkala menyaksikan kerja keras mereka dalam mencari sumber pengidupan.  Aku belum tentu bisa hidup seperti mereka.

Itulah harga diri. Itulah kemuliaan hidup. Mereka tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Sedapat mungkin mereka makan dengan hasil jerih payah mereka sendiri. Itulah sebaik-baik rezeki.

Suatu hari, Mang Darsim harus masuk rumah sakit. Bukan karena sebuah penyakit, melainkan karena sebuah konsekuensi pahit dari pekerjaannya sebagai seorang petani yang bertanam di pinggir rel kereta api.

Kereta berkecepatan tinggi telah menyerempet tubuhnya pada saat ia sedang menjalankan aktivitasnya. Tubuhnya seketika terpelanting, lalu berdebam keras di atas hamparan batu-batu tajam yang besarnya kurang lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa. Darah pun seketika melumuri sekujur tubuhnya yang mulai renta. Tidak hanya dari tubuh, bahkan tak lama kemudian mulutnya juga mengeluarkan darah segar berwarna merah kehitaman.

Orang-orang yang menyaksikan itu langsung membawa Mang Darsim ke rumah sakit.

Dan aku, sebagai orang yang bertenagga dengannya, otomatis juga mempunyai kewajiban serupa dengan tetangga-tetanggaku yang lainya. Aku harus menjenguk Mang Darsim di rumah sakit.

Kawan, usahlah kau pikirkan dari mana Mang Darsim membayar biaya perawatannya selama dia dirawat di rumah sakit. Logikaku tak sampai pada kesimpulan bahwa hanya dengan pekerjaannya yang seperti itu Mang Darsim akan mampu membayar biaya perawatannya. Allaahu a’lam.

Singkat cerita, aku pun sudah berada di rumah sakit. Sebisa mungkin kuhibur sepasang suami istri yang sedang diuji oleh Allah itu. Mang Darsim nampak terihat begitu lemas dan memprihatinkan. Namun, terenyuhlah aku untuk kesekian kalinya tatkala aku menyaksikan sang istri yang begitu setia mendampingi dan memenuhi setiap kebutuhan suaminya. Dialah Bi Ratminah, sang istri yang nyata ketulusannya.

“Bu, ke sini sebentar..” pinta Mang Darsim pada istrinya di sebuah kesempatan. Aku masih menjadi penonton tunggal di pentas realitas itu. Duduk di atas kursi besuk yang ada di pojok kamar tempat Mang Darsim dirawat.

“Ada apa Pak?” tanya Bi Ratminah sembari mendekat ke arah suaminya yang sedang berbaring.

Setelah jarak tak lagi menjadi pemisah mereka berdua, Mang Darsim meminta istrinya agar mendekatkan telinganya ke arah mulut Mang Darsim. “Ka dieu Bu..” sembari melabaikan tangannya yang nampak lesu tak bertenaga. Bi Ratminah pun surti, ia segera memenuhi apa yang diminta oleh suaminya.

Saat itulah aku menyaksikan Mang Darsim membisikan beberapa kalimat di telinga Bi Ratminah. Aku tak dapat menyimak dengan baik apa yang diucapkan oleh Mang Darsim. Dia berbisik dengan sangat pelan. Respon yang aku lihat hanyalah kepala Bi Ratminah yang mengangguk-angguk takala mendengar biskikan dari Mang Darsim. Nampaknya Mang Darsim sedang meminta sesuatu kepada sang istri, inilah kesimpulanku.

Tak lama setelah Mang Darsim purna menyampaikan bisikkanya kepada Bi Ratminah, aku pun segera berpamitan kepada mereka berdua. Berujar pesan agar terus bertahan dalam menghadapi ujian, sembari memberikan amplop berisi sedikit uang kepada Bi Ratminah. “Hatur nuhun Acep*..” ucapnya lirih. [*Acep bukanlah sebuah nama, ia adalah sebuah panggilan orang tua Sunda kepada orang yang masih dianggapnya muda] “Sami-sami Bi, mangga nya Bi, abdi bade wangsul heula..”

Ceritanya akan aku singkat lagi kawan.

Aku pun pulang ke kontrakan dan menjalankan aktivitas rutinku seperti biasanya. Jam menunjukkan pukul 13.30-an siang.

Menjelang ashar, sebuah pengumuman terdengar membahana dari pengeras Masjid Al-Badriyah. Isinya membuat aku terhenyak bukan kepalang. Diawali dengan kalimat, “assalamu’alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh”, disusul dengan kalimat “innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...” Pengumuman itu mengabarkan bahwa Mang Darsim baru saja dipanggil Allah Swt. Ia baru saja meninggal. Seluruh tetangga, kerabat, dan juga orang-orang yang mengenal Mang Darsim diminta untuk mendoakannya agar diteima segala amal baiknya oleh Allah, sekaligus mendoakan keluarga yang ditinggalkanya agar tetap diberi ketabahan.

Baru beberapa jam yang lalu aku melihat tubuhnya yang masih bergerak, mulutnya yang masih berbisik, dan tangannya yang masih bisa melambai. Kini, bergantialah semua bayangan itu menjadi bayangan seorang Mang Darsim yang sedang terbujur kaku sembari ditangisi sang istri dan keluarganya. “Innalilahi wa inna ilaihi raajuun”, ujarku lirih. Sesungguhnya, kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

***

Ritual budaya pun mulai dilaksanakan. Setelah shalat magrib, tetangga-tetangga Mang Darsim langsung berbondong-bondong menuju rumahnya untuk memenuhi undangan tahlilan. Inilah yang aku maksudakan dengan budaya kawan. Tahlilan adalah sebuah budaya, bukanlah sebuah ritual ibadah yang jelas ada dasarnya. Akulah satu-satunya orang yang tidak menghadiri undangan itu dengan alasan sedang ada pekerjaan yang sangat butuh untuk segera diselesaikan (karena kondisi detik itu memanglah demikian, aku dikejar-kejar deadline untuk segera menyelesaikan proposal tesisku).

Padahal itu hanya sebatas retorika cara menolak dengan halus saja. Karena, alasan yang sebenarnya adalah aku berprinsip bahwa tahlilan itu bukan sesuatu yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Maka, aku tidak berkewajiban sama sekali untuk melaksanakannya. Aku berpikiran bahwa aku adalah seorang berpendidikan yang tidak mau mencapuradukan antara yang benar dan yang tidak benar. Inilah pikiran sempitku waktu itu.

Tahlil berlajut. Aku anteng dalam menggarap proposal. Waktu pun terus berjalan.

Tak terasa, azan Isya telah berkumandang. Aku pun bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakan  shalat Isya. Berjama’ah.

Kontras. Tak nampak banyak orang-orang yang berbondong-bondong memenuhi panggilan azan ketimbang memenuhi panggilan tahlilan setelah shalat magrib tadi. Ini adalah realitas kedua yang aku persalahkan. Menganggap diri paing benar dan sholeh, dan tak punya pikiran realistis terkait bagaimana cara agar aku bisa memperbaiki kondisi tersebut. Otakku hanya dijejali pikiran kaum idealis yang terkadang jauh dari pemikiran realistis. Di kampus di kenal sebagai seorang aktivis, di kampung tak mampu berkutik sama sekali tatlaka dihadapkan pada kenyataan hidup bermasyarakat. Senangnya hanya memvonis, mempvonis, dan memvonis. Ketika ditanya solusi? Matilah gayaku. Mati pula urusan strategiku.

Setelah shalat sunat Rawatib, aku pun segera beranjak pulang kembali ke kontrakan.

Sesampaiknya di halaman kontrakan, aku menyaksiakan seorang Ibu tua sedang mengetuk-ngetuk pintu kontrakanku. Tangannya menenteng rantang berisi bermacam-macam makanan.

“Ada apa Bu?” Tanyaku.

Ibu tua itu nampak kaget tatkala ia mendengar suara yang muncul dari belakangnya. Sesegera mungkin ia menghadapkan tubuhnya ke arah sumber suara.

Berikutnya giliran aku yang merasa kaget tatkala mendapati bahwa ibu tua yang sedang mengetuk-ngetuk pintu kontrakanku itu ternyata adalah Bi Ratminah. Saat sedang berduka seperti itu, sempat-sempatnya dia datang ke kontrakanku sambil membawa rantang—yang aku pastikan—berisi makanan.

“Eh, baru pulang dari masjid Acep teh? Bibi kira ada di rumah..”

“Iya Bi, punten pisan ya Bi, saya sedang ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, jadi tadi tidak bisa datang ke rumah Bibi..” ujarku memelas. To the point.

“Tidak apa-apa Cep, pidu’anya saja yah dari Acep biar si Mamang teh diteima segala amal shalehnya oleh Allah.” Balas Bi Ratminah sembari berkaca-kaca.

“Iya Bi, insya Allah selalu saya do’akan. Ada apa Bi, malam-malam begini datang ke rumah saya?”

“Ini Cep, bibi cuma mau memberikan makanan ini ke Acep.” Jelasnya, samabl menyodorkan rantang berisi rupa-rupa makanan itu kepadaku.

Batinku pun kemudian berujar, saat beruka seperti ini sempat-sempatnya Bi Ratminah memberikan makankanan, pake dianterin langsung segala lagi.

Mau menolak jelas tidak sopan. Mau bertanya dalam rangka apa dia memberiku makanan jelas pula aku tak berani. Aku berpikir, makanan itu diberikan padaku karena tadi aku tidak datang ke rumahnya untuk tahlilan. Aku berpikir kenapa malah Bi Ratminah yang memberiku makanan untuk membahagian orang, semestinya akulah yang memberinya kebahagiaan (dalam bentuk apapun).

Melihat aku yang nampak ragu untuk menerima makanan itu, Bi Ratminah kembali berujar, “Terimalah Acep, ini adalah pesanan si Mamang..”

“Pesanan si Mamang gimana Bi?” Tanyaku agak heran.

“Iya, menjelang wafatnya tempo hari, si Mamang berpesan begini ke Bibi. “Bu, sekarang kan bulan Maulid, bahagiakanlah tetangga-tetangga kita dengan membagikan makanan kepada mereka dari rezeki terbaik hasil kerja kita.” Acep juga menyaksikannya kan? Kan waktu itu Acep masih berada di kamar untuk menjenguk si Mamang.”

“Oh kitu, hatur nuhun atuh Bi, mangga ku abdi ditampi.” Responku pendek, tanganku pun segera menyambut pemberian Bi Ratminah. Mulut berujar kalimat pendek itu, sementara hati menjerit menahan rasa pilu yang teramat sangat.

Mangga Acep, Bibi mau langsung pulang saja yah.”

“Oh, iya Bi, mangga-mangga, hatur nuhun pisan nya Bi.”

“Sami-sami, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

***

Bisikan yang aku saksikan tempo hari ternyata adalah sebuah wasiat dari Mang Darsim untuk istrinya. Wasiat untuk berbagi kebahagian dengan tetangga dikarenakan bulan itu adalah bulan kelahiran manusia teragung sepanjang sejarah; Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam. Mang Darsim tidak berkata dengan retorika demikian berbusa yang menyatakan bahwa dia memiliki perasaan cinta terhadap Rasulullah Saw. Cukuplah amal nyata yang menjadi wakil bagi perasaannya.

Kawan, tengoklah diri kita. Sudahkan kita memiliki cinta yang begitu mendalam terhadap baginda Rasulullah Saw.?

Adakah bukti dari perasaan itu?

Bukankah kita tahu, bahwa di akhirat kelak kita akan dibersamakan dengan orang-orang yang kita cintai?

Penutup

Sembilan hari sebelum Rasulullah Saw. wafat. Sepulang dari menunaikan haji wada’, turun firman Allah Swt., “… wattaqu yauman… turja’uuna fiihi”. Sejak itu, tanda-tanda kesedihan sudah tampak dalam diri manusia mulia itu. “Aku ingin mengunjungi makam para syuhada Uhud,” ujarnya. Beliaupun pergi ke lokasi makam, dan berdiri di tepi makam para sahabatnya. “Assalamualaikum ya syuhada Uhud. Kalian telah lebih dahulu, dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Dan aku insya Allah akan bretemu dengan kalian.”

Dalam perjalanan pulang, Rasul Saw. menangis. Para sahabat bertanya, tentang sebab tangisannya. Dengan nada lirih, Nabi Allah itu mengatakan, “Aku merindukan saudara-saudaraku..”, “Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu, ya Rasulullah?” sergah para sahabat. Rasul menjawab, “Tidak. Kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah orang yang datang setelahku, tapi mereka beriman kepadaku meskipun tidak melihatku.”

Allaahu ta'ala a'lam.

Oleh: Penulis Amatir

Sumber gambar: klik disini :)

Kader Dakwah Andalan; Mereka yang Jiwanya Senantiasa Menyatu dengan Akhirat

Adalah benar ketika ada seseorang yang mengatakan: sebetulnya, tidaklah salah-salah amat jika musuh-musuh dakwah tak bosan-bosannya terus menyerang para pegiat dakwah. Karena, tabi’at seorang musuh itu adalah mengalahkan siapa saja yang menjadi lawannya. Maka, sebetulnya yang layak disalahkan itu–jika kita ingin terus-terusan mencari siapa yang salah–ya para pegiat dakwahnya sendiri. Bangunan dakwah yang mereka susun sedemikian sempurna itu ternyata tidaklah runtuh karena dibombardir oleh musuh-musuh mereka, melainkan karena tingkah laku para pegiatnya sendiri. Allaahu a’lam.

Maka, sebelum para aktivis tergopoh-gopoh memvonis ‘salah’ terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh, alangkah baiknya jika para aktivis berpikir jernih terlebih dahulu. Sembari bertanya–dengan penuh ketulusan–pada dirinya sendiri. Apa benar hal itu adalah kesalahan musuh-musuh dakwah?

Tentu pikiran yang jernih itu akan menghasilkan sebuah konklusi, bahwa sesungguhnya dirinya—banyak ataupun sedikit—telah menyumbangkan perannya dalam menjadikan banguanan dakwah tersebut acak-acakan.

Penyebabnya apa?

Pertanyaan inilah yang semestinya muncul kemudian. Bukan untuk sekedar mengetahui penyebabnya, tetapi lebih jauh dari itu, mereka harus berupaya mencarikan solusi terhadap penyebab yang menjadi sumber masalah itu.

***

Sahabat yang tulus, peratikanlah apa yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Hamid Al-Bilali dalam kitab beliau (Waahatu Al-Iman; sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Taujih Ruhiyah Pesan-Pesan Penjernih Hati) berikut ini, “saya percaya seyakin-yakinnya bahwa kader andalan untuk mengendalikan kejayaan umat adalah kader yang hatinya menyatu dengan akhirat, lalu mengerjakan seluruh aktivitas dunia, sembari melihat akhirat di sela-selanya. Kader yang menyucikan diri dan ruhiyah-nya serta menganggap jiwanya murah untuk dikorbankan di jalan Allah, kendati nyawanya harus melayang. Itu tidak menjadi masalah, selama itu membuat Allah ta’ala ridha padanya. Kader yang hanya bersandar kepada-Nya saat mengadapi gelombang fitnah. Kader yang tidak bergantung kepada selain Dia dalam menghadapi penguasa tiranik. Kader yang tidak bergantung kepada selain Dia dalam menghadapi dirinya sendiri, setan, dan hawa nafsunya.”

Kenikmatan di akhirat menjadi tujuan utama dalam setiap aktivitas mereka. Kalaupun ada pilihan yang nampak bersifat keduniaan, pasti hal itu hanya akan mereka gunakan sebagai sarana saja. Bukan sebagai tujuan utama.

Seluruh aktivitas yang mereka kerjakan hanya mereka persembahkan untuk Allah semata. Tidak untuk yang lain. Apalagi untuk manusia yang memiliki kekerdilan jiwa, fana, dan juga gudangnya alfa.

Mereka beraktivitas penuh dengan keluhuran dedikasi. Tidak untuk mencari pamrih, tidak untuk memburu pujian, dan tidak pula untuk mengupayakan sebuah popularitas. Ah, terlalu remeh jika hal itu menjadi kejaran utama dalam aktivitas meraka. Hanya satu yang menjadi tujuan utama mereka: keridhaan Allah terhadap mereka. Ya, seperti itulah, hanya ridha-Nya yang mereka kejar. Karena, dengan itulah mereka akan memperoleh kenikmatan abadi yang telah dijanjikan-Nya.

Seluruh amanah yang mereka emban, mereka tuntaskan dengan upaya yang paling optimal. Sampai selesai. Tidak ada sama sekali niatan untuk berhenti di tengah jalan karena sebuah alasan yang sifatnya lagi-lagi berhubungan dengan keduniaan. Takut anu, takut ini, dan takut itu. Takut kepada sesuatu yang belum pasti akan terjadi. Takut kepada sesuatu yang belum jelas bakalan berbuah sebuah realitas. Sahabat, bukankah berarti ketakutan-ketakutan itu sama dengan keraguan kita akan pertolongan Allah?! 

Kenikmatan akhirat itu adalah sesuatu yang harganya sangat mahal. Tidak mungkin bakalan kita daptkan hanya dengan proses yang setengah-setengah. 

Kita tengok saja realitas kehidupan di sekitar kita.

Tengoklah mereka yang sukses di masa tuanya. Lalu cobalah telisiki bagaimana kehidupan mereka di masa mudanya. Pasti kita akan dapati bahwa masa muda mereka sangatlah kental dengan berbagai ujian dan kesempitan. Dari sini kita bisa menarik sebuah pelajaran berharga, bahwa sesunggugnya ujian dan kesempitan itu akan berbuah banyak kenikmatan di masa yang akan datang. Ini baru hal yang masih bersifat kedunian. Seperti itu pulalah kenikmatan akhirat—yang sangat aku yakini keberadaanya—, tidak mungkin ianya bakal kita dapatkan hanya dengan usaha yang setengah-setengah. 

Kesimpunan sederhanyanya jadi seperti ini: kesuksesan dunia saja harus kita kejar dengan upaya optimal, apalagi akhirat?!

Maka, alangkah indahnya.. jika dalam aktivitas yang kita katakan sebagai perjuangan ini, di dalamnya bersanding sebuah motivasi ukhrawi.

Maka, alangkah indahnya.. jika kenikmtanan akhirat senantia menjadi tujuan utama  dalam tiap langkah perjuangan kita. Allaahu a’lam.

Oleh: E. Voice :)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More